Setelah perjuangan panjang mendaki Lawu selama kurang lebih 9 jam, akhirnya kami sampai di PUNCAK HARGO DUMILAH. Puncak yang ditandai dengan sebuah tugu dengan bendera Merah Putih di atasnya. Di tugu itu tertulis bahwa lokasi itu terletak di ketinggian 3265 MDPL.
Keadaan Puncak Hargo Dumilah yang sangat sepi dan turunnya kabut yang begitu cpat dan sangat tebal menjadi pertimbangan untuk segera turun dan mencari Warung Mbok Yem, Warung di area Puncak Lawu, untuk bisa menikmati semangkok mi instant rebus panas.
Langsung TURUN dan TERSESAT!!!
Setelah sampai kembali di Pos 5, kami memutuskan untuk pulang melalui Cemoro Sewu. Jadi kami ambil jalur sebelah kanan melewati Hargo Dalem. Namun, setelah sekian lama berjalan, kurang lebih 30 mnit, kami tidak mnmukan tanda-tanda kehadiran orang lain, apalagi bangunan Mbok Yem. Memang saya tidak tahu persis letak warung Mbok Ym. Yang saya temui adalah bangunan besar, gelap dan sepi (Hargo Dalem). Secara insting, saya mendekati bangunan itu, namun Sisil memilih mengambil jalur satunya, menjauhi bangunan besar itu. Karna bangunan itu tampak wingit atau kramat. Kami pun berjalan bergegas tanpa pikir panjang menjauhi bangunan itu. Setelah beberapa saat kami melewati rumah yang disusun dari botol-botol bekas (oleh Mas Babi, disebut Rumah botol). Sayang, kami tidak sempat mengambil foto nya.
Suasana mistis Lawu sungguh terasa. Angin yang bertiup kencang yang menerpa daun-daun cemara menimbulkan suara-suara berdesir yang luar biasa menciutkan hati. Kabut yang seakan mengejar langkah-langkah bergegas kami, mengesankan bahwa kami terdampar di negri antah berantah.
Dikelilingi bayangan puncak-puncak bukit yang di sapu sinar bulan purnama menambah kesuraman perjalanan kami pulang. Terlebih, ketika kami sampai di hamparan bebatuan yang saya tahu itu disebut sebgai Pasar Setan. Saya simpan rapat-rapat berbagai cerita mistis yang pernah saya dengar tentang area tersebut. Saya biarkan istri jalan di depan, sambil mengenali jalan setapak yang seringkali menghilang dan kami perlu beberapa menit untuk memutuskan, jalur mana yang akan kami ambil. Saya menpis bayangan-bayangan horor yang menghantui pikiran yang bisa menambah berat langkah.
Jalanan yang semakin menggelap, meski diterangi temaram cahaya bulan. Kami mempercepat langkah kami, dengan target yang kami ubah!! Bukan Warung Mbok Yem lagi, tapi kami mencoba mencari tanah yang datar untuk kami bisa dirikan tenda. Namun kami memilih menjauhi area puncak yang dipenuhi kabut. Puncak Lawu nan dingin, berkabut dan (perasaan saya) penuh aroma mistis. Kami menjauh secepat mungkin dan berharap segera menemukan tempat yang relatif tidak terlalu dingin untuk kami bisa beristirahat membuka tenda dan memasak untuk makan malam.
Saya mulai mnyadari bahwa kami melewati jalur yang SALAH!!! Karakter jalanan yang sama skali berbeda dengan memori yang tersimpan sejak SMA maupun dari informasi-informasi tentang jalur Cemoro Sewu, sungguh bertolak belakang dari jalur yang kami berdua lewati.
Seiring jauhnya kami dari Puncak Lawu, kami semakin memasuki hutan. Memang dibeberapa tanda di pohon mnunjukkan bahwa jalur itu memang dilewati pendaki. Rasa ciut di hati kami semakin menjadi yang kami ekspresikan dalam diam, karna kami kawatirkan sebuah kata yang menunjukkan kekawatiran justru menambah rasa was-was kami.
Jalan setapak yang kami lewati seringkali tertutup oleh rerumputan liar. Sinar senter sungguh membantu untuk kami terus berjalan. Sembari berjalan, kami bertanya-tanya, sampai dimana ujung jalan setapak ini. Jam sudah menunjukkan kira-kira pukul 21.00. Kami sudah tidak peduli lagi dengan rasa lapar maupun kaki dan lutut kami, yang sejak menjelang Puncak sudah mulai membengkak. Suara air terjun, yang kemungkinan besar adalah Grojogan Sewu, sayup-sayup terdengar menambah rasa nglangut dalam hati.
Setelah berjalan dalam track yang mendatar. Kami mulai menemukan track menurun tajam yang seakan tidak memberi kesempatan kaki-kaki lelah kami untuk sekedar beristirahat. Perjalanan sudah tidak scpat 1 – 2 jam sebelumnya. Kaki-kaki istri sudah semakin melemah, tapi stiap kali saya tawari istirahat, dia lebih memilih untuk terus berjalan.
Hal yang cukup mmbuat lega kami adalah, di kejauhan nun jauh di bawah sudah tampak lampu-lampu rumah penduduk. Ini menambah smangat kami, bahwa kami menuju ke arah yang benar dan sebentar lagi kami samoai di pemukiman (yang beberepa jam ke depan kami baru tahu, kami SALAH!!!).
Jalanan yang menurun dan penuh dengan tumbuh-tumbuhan perdu penuh duri, mulai mlukai tangan dan sempat melukai wajah Sisil. Setiap kali ada turunan tajam, hanya tetumbuhan itu yang bisa “mmbantu” kami agar bisa menjaga keseimbangan. Di saat fisik sudah semakin menurun, tanda-tanda kehidupan berupa lampu di kejauhan, tampaknya enggan kami dekati. Kami merasa sudah berjalan lebih dari 2 jam, sejak kami melihat lampu-lampu tersebut, rasanya jarak belum terpangkas secara signifikan.
Sisil sudah tidak kuat berjalan lagi. Tubuh lelah yang harus menopang tas punggung yang cukup berat, hanya “tertolong” oleh jalanan menurun. Dia “hanya” mampu ngesot sambil menyeret beban nya. Saya sendiri tidak bisa membantu banyak. Tas di punggung saya pun jauh lebih berat dan tali-tali tas sudah mulai melukai pundak kanan dan kiri.
Namun Sisil bukan wanita yang mudah menyerah. Kesakitan di kaki nya tidak menjadikan alasan untuk mudah menyerah oleh tawaran saya untuk mmbuka tenda dan bermalam di tempat yang agak terbuka. Dia masih terus berusaha “berjalan” dengan menyeret tubuhnya. Perjalanan semakin melambat. Kami seperti dikejar malam dalam sebuah pelarian. Malam bukan lagi mnjadi teman dalam istirahat kami, tapi tampak menyembunyikan apa yang kami inginkan, yaitu jalanana yang landai dan lapang.
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Perut saya sudah mulai protes. Sejak jam 16.30, kami belum kemasukan makanan. Kami “hanya” merasa kehausan, karena rasa hauslah yang paling praktis bisa kami obati, dibandingkan rasa lapar, yang terlalu repot untuk kami puaskan. Bahan makanan kami simpan di tempat yang terlalu repot untuk kami bongkar. Waktu terlalu berharga buat kami untuk bisa kami “sia-siakan”.
Kali ini, tawaran untuk istirahat, diiyakan Sisil. Namun istirahat hanya skitar 10 – 15 mnit. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan dengan diiringi kesakitan yang semakin menjadi dari Sisil. Namun perjalanan masih bisa diteruskan sampai 2 jam ke depan. Tentu dengan karakter jalanan dan kondisi tubuh kami, jangan dibayangkan kami mampu berjalan jauh.
AKHIRNYA BERMALAM DAN MERAYAKAN PERINGATAN PERNIKAHAN KAMI
Sisil tidak mungkin menolak lagi. Akhirnya ia menyerah. Tepat pukul 00.00, di sebuah tanah “lapang” , yang sejatinya hanya tepian jalanan yang agak melandai dan sedikit lebar, tawarin untuk membuka tenda akhirnya diiyakan. Setelah tenda berdiri, saya pun menyiapkan kompor untuk kami bisa memasak. Bayangan mie instant rebus dan kopi panas semakin menambah semangat kami untuk melawan menggigilnya tubuh kedinginan kami.
Namun bayangan di atas hanya berhenti pada ILUSI. Kompor gas yang kami siapkan tidak berhasil kami nyalakan. Pemantik apinya, tidak mampu melawan dinginnya malam. Dan kami tidak membawa korek api untuk menyalakan kompor kami. Kami kemudian mengandalkan makanan yang ada di perbekalan kami, yaitu chocolate dan crackers yang masih tersisa. Kopi pun kami buat dengan air dingin.
Sungguh, dalam kondisi yang serba survival, makanan yang masuk, sudah kami rasa sangat cukup. Kami pun bersiap tidur setelah berdoa untuk “merayakan” peringatan pernikahan kami. Ya, 2 Juli, 10 tahun kami menikah. Dan sungguh di luar bayangan kami, kami “merayakan” dengan cara seekstrim ini.
Saya tertidur pulas. Matahari pagi pukul 07.00 mmbangunkan kami. Beberapa menit bangun, saya tidak bisa menggerakkan badan yang terselimuti Sleeping Bag. Kaki terasa kaku dan bengkak. Badan pegal-pegal, terutama pundak yang diperparah oleh rasa perih akibat terlalu lama menggendong tas punggung.
Sekitar jam 07.30, kami dikagetkan oleh suara orang yang bertanya “Mau naik atau turun Mas?”. Saya jawab cepat bahwa kami mau turun, sembari membuka tnda. Saya masih sempat melihat orang yang menyapa kami naik ke atas dengan membawa semacam keranjang atau tas di punggung. Tampak nya seperti penduduk lokal. Saya dalam hati lega, berarti tidak lama lagi, akan menemukan pemukiman penduduk di bawah sana.
LANJUTKAN PERJALANAN
Meski sudah beristirahat beberapa jam, karna kondisi jalanan tidak berubah, masih berupa turunan tajam dan
Pukul 7.30 – Bersiap Bongkar Tenda
semak-semak di kanan kiri, kecepatan jalan kami belum bisa maksimal. Perut kosong belum sarapan juga mnambah miris keadaan kami.
Di Pos 2 – Jalur Candi Cetho
Namun setelah beberapa meter turun, ternyata kami menjumpai POS 3. Brupa bangunan yang sederhana, beratap trpal. Sekedar informasi, 2 pos yang kami temukan sebelumnya, yaitu Pos 5 hanya berupa tulisan di pohon, sedangaken Pos 4 masih mmpunyai area lapang di sekitarnya.OKarna sudah berisitirahat, kami mutuskan untuk terus berjalan dan melewati Pos 3. Sekitar pukul 9.40, kami menemukan Pos 2. Keadaan hampir sama dngan Pos 3, hanya terdapat pohon yang cukup besar, yang batangnya dikellingi kain mori/kafan dan area tanah lapang yang tidak cukup besar. Setelah beberapa menit beristirahat dan mengambil beberapa foto, kami lanjutkan perjalanan.
Matahari sudah semakin mninggi. Panas sudah semakin menyengat. Di beberapa titik, tanaman perdu mendominasi, sehingga, tidak mampu melindungi tubuh kami dari terpaan sinar matahari.
Pos 1 – Jalur Candi Cetho
Setelah berjalan sekitar 1 jam, tepatnya pukul 10. 45, kami menemukan Pos 1. Setiap kami menemukan sebuah pos, kami merasa jarak terpangkas secara signifikan. Motivasi kami tumbuh kembali. Energi yang terkuras habis, bisa secara alami bangkit kmbali. Menemukan Pos 1, berarti sebentar lagi kami menemukan Basecamp (syukurlah kami tidak tahu, bahwa perjalanan kami tidak sesingkat itu sejati nya – setidaknya perlu 3 jam ke depan).
Kami semakin percaya diri, bahwa kami masih bisa sampai di Solo jam 14.00 atau jam 15.00. Mengingat kami harus sudah sampai di kaliurang jam 19.00 untuk bergabung dengan keluarga besar yang akan mengadakan pertmuan keluarga tahunan di sana. Semangat ini pulalah yang melecut kami untuk terus berjalan. Keadaan siang hari, walaupun panas, setidaknya mengurangi beban emosi dan psikologis kami dalam menempuh perjalanan. Jalanan yang terang dan sesekali bunyi SMS mapun Line yang masuk sejak di POS 3 menebalkan semangat kami untuk terus berjalan.
BERTEMU PARA DEWA PENOLONG
Sekitar pukul 12.30, kami mulai menemukan tanda-tanda dekatnya posisi kami dengan penduduk sekitar. Kami menemukan lahan perkebunan. Langkah kaki kami terasa ringan. Sudah mulai keluar candaan dari mulut kami. Saya yang beberpa jam yang lalu mulai meragukan bahwa ini bukan track Cemoro Sewu, berkelakar bahwa jangan-jangan track ini berakhir di sebuah daerah di Jawa Timur, jauh dari posisi kami di seputaran Cemoro Kandang. …
Beberapa menit berjalan, akhirnya kami melihat 2 motor, ya MOTOR!!!, kndaraan biasa yang terlihat luar biasa dalam keadaan yang jauh dari peradaban ini. Kami mempercepat langkah sembari mendekati 2 motor yang terparkir dan 2 orang yang sedang duduk di bawah pohon. Kami pun bertanya ke salah satu orang itu, yang nanti kami ketahui bernama Aji, apakah Cemoro Sewu masih jauh jaraknya. Dengan wajah yang cukup kaget, orang itu mnjawab kalo jalur ini bukan jalur Cemoro Sewu. Setelah obrolan singkat, ternyata kami ketahui bahwa kami benar-bnar salah jalur. Untuk kembali ke Cemoro Kandang, tempat kami menitipkan motor, minimal kami harus menempuh perjalanan 20 km untuk mencapai jalan raya Tawangmangu – Solo. Dan kami harus melanjutkan naik bis sekitar 12 km, dan 10 km lagi untuk kamii bisa sampai di Cmoro Kandang. Jadi total “sisa” perjalanan kami sekitar 42 km!!!!! Ya Tuhan…Lemaslah badan kami….
Orang itu kemudian menyarankan untuk jalan ke pemukiman terdekat, sekitar 8 – 10 km, dan berharap ada ojek atau truk untuk bisa ditumpangi sampai di jalan raya Tawangmangu – Solo. Setidaknya sampai bisa mencapai transportasi umum agar mudah kami mencapai Cemoro Kandang.
Saya menoleh ke Sisil, dan tatapan saya mngajak untuk meneruskan perjalanan. Kami pun berpamitan ke 2 orang itu dan melanjutkan prjalanan. Keadaan Sisil yang sudah kepayahan menjadi penghalang terbesar kami untuk menyusuri jalanan desa yang meski sudah dibeton, tp jalanan sangat curam dan menambah kesulitan untuk kaki-kaki penuh derita kami.
Setelah berjalan kurang lebih 100 meter, Sisil menyerah dan berharap bisa menemui orang untuk bersedia dibayar untuk jasanya mengantar kami. Kami perkirakan perlu 100 – 150 ribu untuk mencapai Cemoro Kandang. Sedikit menyesal kenapa tadi saya tidak minta “bantuan” 2 orang yang kami temui tadi untuk mngantar kami.
Pertolongan Tuhan selalu datang di saat yang tepat. Dua orang yang kami temui sebelumnya, mengendarai motor mereka untuk menuju ke bawah. Mereka menawarkan bantuan untuk mengantar kami. Tanpa basa-basi kami menerima tawaran tersebut. Tuhan sungguh baik….
Sambil berjalan, kami ngobrol dan saya membonceng motor yang dikendarai Mas Aji. Sebuah motor berjenis trail yang berplat “B”. Dari obrolan itu saya tahu, kalau ia bkrja di Indoood, khusunya dalam mengkoordinir petani setmpat dalam penanaman kentang untuk produksi CITATO dan LAYS.
Setelah melewati berbagai desa dengan jalan yang berkelak kelok sekitar 20 km, sampailah kami di jalan raya Kaliurang – Solo. Mereka kebtulan mau ke daerah Solo, jadi kami diturunkan di minimarket terdekat. Mereka menolak sodoran uang pengganti bensin dari Sisil dan mau segera melanjutkan perjalanan ke Solo.
Lalu kami mampir di Warung Kupat Tahu di samping minimarket tersbut. Kami memesan 2 porsi kupat tahu, dan 2 glas s jruk. Sungguh…..Ini menu tiada 2 nya setelah prjalanan yang seakan tak berujung.
Tak brapa lama, saya melanjtukan perjalanan ke Terminal Tawangmangu yang berjarak 12 km dengan bis. Sisil saya tinggal di warung tadi sambil mnjaga barang-barangnya. Setelah sampai di terminal Tawangmangu, saya menggunakan jasa ojek untuk bisa sampai ke Cemoro Kandang. Sekitar jam 14.00 sampailah saya di Basecamp Cemoro Kandang. Mas Babi dan temannya sedang berbincang. Begitu melihat saya, Mas Babi mengira saya turun lewat jalur Cemoro Sewu.
Setelah bercerita panjang lebar, ternyata jalur yang saya tempuh semalam, adalah jalur Cetho (Candi Cetho). Jalur itu tidak resmi atau tidak populer di kalangan pendaki karena akses nya yang tidak bersahabat. Mas Babi bertanya apakah semalam kami bertemu babi hutan atau tidak. Karna mnurutnya, jalur itu kalau malam, sering sekali dilewati babi hutan. Bergidik saya mngingat perjalanan semalam.
Ah, sudahlah, yang terpenting kami bisa selamat melewati jalur itu, jalur yang mungkin kami lewati hanya sekali seumur hidup kami. Seraya terus bersyukur, saya melaju motor untuk jemput Sisil dan selanjutnya menuju Kota Solo.
Tangerang Selatan, 7 Juli 2015