Pak Presiden, Saya Mau Lapor…..

logo lapor presidenDi era demokrasi ini, hubungan antara Presiden sebagai salah satu lembaga tinggi negara tidaklah seperti belasan atau puluhan tahun yang lalu. Presiden hadir sebagai sosok yang touchable atau accessable bagi rakyat biasa. Saya tengarai hadirnya Gus Dur sebagai Presiden pertama pilihan rakyat di era reformasi mencitrakan diri sebagai presiden yang dekat dengan rakyat. Berbagai aturan protokoler beliau langgar karena dirasa mengekang kedekatan beliau dengan rakyatnya.

Era Megawati saya tidak mendapat kesan itu. Beliau terkesan lebih banyak diam di masa pemerintahannya, bisa saya katakan Mbak Mega ini tidak mencerminkan Presiden dari Partai nya Wong Cilik karena tak mampu berkomunikasi dengan ramah dengan rakyatnya.

Presiden SBY sebagai presiden yang terpilih dalam pemilihan langsung pertama, tampaknya mempunyai “beban” tersendiri untuk selalu hadir sebagai sosok yang harus selalu dekat dengan rakyat. Beliau membuka kran komunikasi langsung dengan membuka akun di Twitter. Melalui media ini, beliau secara langsung menyampaikan berbagai pikiran dan (tentu saja) curhatannya.

LaporPresiden.org

Jokowi tentu juga tidak mau “ketinggalan kereta”. Dengan memanfaatkan dukungan dari pendukung setianya, Presiden kita ini merestui dan mendukung dibukanya Kanal “Lapor Presiden”. Kanal ini melengkapi jalur komunikasi via Facebook dan Twitter yang terlebih dahulu sudah dibuat. Kanal “Lapor Presiden” ini dibuat oleh para relawan Jokowi sebagai bentuk dukungan tugas-tugas presiden terutama dalam menjalin komunikasi secara langsung dengan rakyat. Tim Komunikasi Presiden menyampaikan bahwa kanal ini sifatnya independen, sedangkan kanal resmi yang dibuat pemerintah adalah www.lapor.go.id. Demikian saya kutip dari berita RMOL yang menyatakan juga kalau kanal ini ternyata lebih populer di bandingkan kanal plat merah. Iseng nge-cek di Play Store, ternyata sudah ada aplikasinya di Android. Salut!!

Harapan dari semua pihak tentu kanal ini bisa digunakan secara maksimal untuk menampung segala aspirasi, kritik dan saran. Mendapat “laporan” langsung dari rakyat tentu menjadi sebuah bentuk apresiasi suara rakyat. Idealnya, potret nyata yang terjadi di luar istana, bukanlah dalam bentuk “laporan ABS” yang diberikan oleh para pembantu presiden yang sering kali tidak merepresentasikan keadaan sesungguhnya.

Semoga dengan semakin banyaknya kanal komunikasi ini, aspirasi rakyat dapat tersalurkan dengan baik. Tapi seperti halnya sebuah kanal, jika tidak dirawat dan dijaga dengan baik, maka ia akan hanya menjadi tempat sampah dan gilirannya justru akan menjadi sumber antipati rakyat terhadap pemerintahan. Penting untuk diperhatikan, karena takutnya sekarang jamannya orang dengan mudah menuduh segala yang baik sebagai sumber pencitraan…… Semoga tidak ya Pak Presiden. Kalau kanal LaporPresiden ini macet, trus saya lapor ke siapa Pak?

Menulis Itu (Katanya) Gampang

penaSebagian besar orang berpendapat kalau menulis itu sesuatu yang susah. Saya pun termasuk yang mengamini hal tersebut. Menulis adalah aktivitas yang kompleks yang membutuhkan analisa, kemampuan teknis menulis dan tentu saja berbahasa yang runut dan berbagai aspek yang lain.

Mengarang atau menulis bagi saya di masa sekolah (SD sampai SMA) menjadi tugas yang cukup membebani. Tugas itu menjadi sebuah momok di saat saya (dan teman-teman) tidak ada mood untuk menulis, “dipaksa” membuat tulisan. Sementara beberapa tahun kemudian, saya baru sadar, jangan-jangan saat kami menulis, Pak Guru dan Bu Guru sibuk koreksi ulangan harian kami. Mungkin kalau jaman itu sudah ada internet atau sosmed, tugas mengarang itu akan lebih sering diberikan…he he he…Mungkin….

Pada saat itu mengarang bukan menjadi sebuah ekpresi perasaan hati atau hasil olah pikir. Kegiatan itu menjadi sebuah perkosaan gagasan yang dibatasi oleh tema yang diberikan guru dan juga jam pelajaran. Akhirnya ungkapan “mengarang indah” dengan ukuran keindahannya adalah seberapa cepat satu halaman bisa rampung terisi dengan kata-kata (yang sering kali  ga nyambung) menjadi akrab di kalangan pelajar.

Arswendo: Mengarang itu Gampang (- Gampang Susah)

Beberapa tahun yang lalu saya senang sekali  ketika menemukan salah satu karya Arswendo Atmowiloto yang berjudul Mengarang Itu Gampang. Buku itu sendiri disajikan dengan cara lain dan tergolong unik menurut saya. Bukan dengan cara ekspositif tapi menggunakan pendekatan tanya jawab. Mmmm…kreatif dan sungguh menarik. Arswendo mencoba memaparkan betapa gampangnya menulis itu dari sudut seorang pembaca yang menyampaikan pertanyaan-pertanyaan umum mengenai teknik penulisan, pencarian ide dan beberapa hal teknis lainnya. Harapannya, pertanyaan-pertanyaan itu mewakili apa yang ada di benak pembaca dalam usaha mencari solusi mampetnya kemampuan menulis.

Menurutnya, menulis apapun, baik itu artikel, naskah drama, cerpen atau puisi harus di dahului dengan ide. Masalah teknis itu belakangan, sepanjang seseorang bisa membaca dan menulis. Kemampuan mengembangkan ide menjadi hal yang wajib bagi seorang penulis.

Tentu tidak serta merta setelah menyelesaikan buku tersebut, kita jadi jago menulis. Satu pesan yang disampaikan mantan pemimpin tabloid Monitor itu adalah dengan tidak bosan terus mencoba menulis dengan berbagai ide yang muncul secara spontan. Apapun ide itu, selalu rekam dalam catatan, dan biarlah dikembangkan suatu saat nanti.

Menulis itu Urusan Hati

Ketika saya mengenal cinta (monyet) di awal-awal tahun pertama sekolah menengah pertama (SMP), saya sangat produktif membuat puisi (cinta dan kegalauan). Satu gadis saja sudah cukup sebagai sumber  inspirasi untuk tema-tema puisi saya. Kegalauan dan kegembiraan silih berganti menjadi telaga ide untuk membuat coret-coret di halaman-halaman belakang buku tulis saya waktu itu. Rasanya saat itu menulis menjadi sebuah kebutuhan dalam mencurahkan segala isi perasaan. Curhat dengan cara ini, saya pikir lebih aman dibandingkan curhat ke teman yang mungkin membocorkan cerita saya yang seorang pemalu ini…..

Kalau ada pertanyaan, bisa ga bikin puisi sekarang? Jawabannya: sulit. Bukan masalah kering ide karena istri saya bukan sekedar telaga ide tapi lautan inspirasi. Bukan begitu Ma?, tapi suasana hati, fokus dan perhatian sudah memprioritaskan hal-hal lain (seperti utang, tagihan, dll).

Menulis itu Butuh Motivasi

Ide atau inspirasi, sebanyak apapun, jika tanpa ada motivasi menulis, rasanya sulit diwujudkan dalam bentuk tulisan.  Menulis menjadi kegiatan menyenangkan jika yang ditulis adalah sesuatu yang melibatkan emosi atau pengalaman luar biasa. Kata-kata seakan meluncur tiada henti untuk melukiskan betapa hebat perasaaan atau pengalaman yang dialami. Banyak pula orang menjadi penulis karena memang profesinya adalah penulis atau wartawan. Tuntutan pekerjaan dan motif ekonomi menjadi penyemangat untuk terus memompa keluar ide dan gagasan sebagai bahan tulisan. Tulisan juga bisa menjadi ajang pencitraan. Dengan tulisaan, citra diri yang mau ditampilkan biasanya adalah cerdas dan terpelajar. Hal ini tidak lepas dari kesan, bahwa tidak semua orang bisa menulis, kecuali si penulis ini emang pinter. Alasan lain, tentu, tidak bisa menutup kemungkinan juga, kalau menulis adalah ajang hobi, yang mampu menciptakan ruang sebagai kegiatan yang rekreatif bagi pelakunya.

Lepas dari apapun alasan orang menulis, menulis memerlukan lecutan untuk memaksa orang untuk mencurahkan ide nya dalam bentuk tulisan.

Menulis itu Kebiasaan

Sekitar tahun 2005 – 2008, ketika booming nge-blog, rasanya ketinggalan jaman jika tidak punya blog di blog provider macam WordPress, Multiply, Blogspot, dll. Saat itu kegiatan blogging menjadi penanda gaul tidaknya orang dalam beraktivitas di internet. Kegiatan menulis menjadi digandrungi oleh sebagain orang saat itu.

Seiring munculnya media sosial yang lebih praktis seperti Facebook dan Twitter, yang tidak memerlukan “keringat” lebih untuk eksis di dunia maya, nge-blog menjadi jauh kalah populer. Cukup menulis sepatah-dua patah kata atau sebaris kalimat sebagai status, cukup seorang Facebooker “mencurahkan” apa yang dirasakannya saat itu.

Menulis melibatkan proses kognitif dan psikomotorik dibumbui dengan aspek afektif. Menulis tidah hanya sampai tahap concepting atau brainstorming. Layaknya aktivitas psikomotorik lainnya, berjalan, berlari atau berenang, yang terpenting adalah menggerakkan anggota tubuh yang diperlukan – dalam hal ini tangan. Jadi jika mau menulis, ya menulislah. Jangan hanya berhenti berkhayal untuk membuat tulisan dan berharap adakadabraaaa…..muncul tulisan!!!

Sebuah tulisan mungkin tidak bisa terjadi dalam durasi waktu tertentu. Seringkali, ia membutuhkan perbaikan di sana-sini. Wajar, apalagi baru tahap awal. Segala sesuatu tampak luar biasa sulitnya pada awalnya.  Terus belajar dan belajar akan memaksa kita untuk terus meningkatkan kualitas tulisan kita.

Akhirnya, ini pendapat saya, yang terpenting bukan seberapa banyak teori  penulisan yang kita punya, namun seberapa besar determinasi kita untuk menciptakan tulisan seraya belajar untuk mengembangkan kualitas tulisannya. Ya udah itu aja…Nulis yuk!!!

Mengapa Saung? – Sebuah Permenungan Di Dalam Saung

1452170_10152521728417965_8306334732466208218_nBerbagai alasan mengapa orang membangun saung, gazebo, atau di budaya Bali (dan Jawa) lebih dikenal dengan Bale Bengong. Menggali semangat back to nature banyak saung (baca: usaha jasa pendirian saung) berdiri di sekeliling kita. Saung yang berarti rumah kecil menjadi oase dalam keriuhan kota untk sekedar bernostalgia dengan suasan pedesaan saat bercengkrama dengan orang-orang dekat.

Nilai Artistik Dekoratif

Alasan artistik dekoratif merupakan salah satu alasan populer sebagian orang, karena mempunyai tanah pekarangan yang luas. Saung menjadi elemen (penghias) taman yang cantik di tengah hamparan tanaman hijau berbunga. Karena semangat itu pulalah, saung dirancang secantik mungkin, sekokoh mungkin dan kalo bisa dengan dana yang maksimal demi mencapai titik terindah sebuah bangunan….

Nilai (asli) fungsional sang saung bisa jadi mengalami reduksi karena saung hakekatnya adalah tempat berteduh. Tempat orang bernaung di bawahnya untuk berlindung (dari panas dan hujan) dan/atau beraktivitas di dalamnya. Saung dalam konteks ini bisa jadi lebih sebagai obyek pelengkap (mungkin juga penderita) sebuah pemandangan yang “hanya” bagian dari keindahan secara keseluruhan sebuah taman. Saung dibangun dengan semangat egosentris sang empunya taman. Saung akan mengalami malam-malam sunyi di tengah keramaian bunga-bunga nan cantik.

Nilai Sosial Komunal

Motif lain yang dimiliki (sekelompok) orang dalam mendirikan saung adalah keinginan untuk mempunyai “rumah bersama”. Rumah yang bisa dikerjakan bersama dan digunakan secara bersama-sama. Karena kebersamaan begitu melekat, maka saung dibangun atas ide kolektif dan didirikan di lahan yang bisa diakses oleh banyak orang. Nilai fungsi saung begitu maksimal ketika banyak orang merasa memiliki dan memanfaatkan.

Tidak menjadi soal, bahan bangunan yang digunakan. Bisa saja sangat mahal, karena biaya ditanggung banyak orang atau bisa jadi seminimal mungkin (karena ada yang berbaik hati untuk berdonasi secara khusus dalam membangun saung). Bisa jadi biaya bukanlah isu utama dalam pembangunan sebuah saung. Isu utama dan paling pokok adalah kerinduan untuk bisa beraktivitas bersama, saling curhat, saling olok atau sekedar saling diam karena sibuk dengan rokoknya masing-masing. Sharing moment menjadi kata kunci dalam nilai ini, entah dalam kata, canda atau sekedar sunyi.

Lantas Apa?

Sebetulnya kesuksesan terbesar dalam membangun saung dengan nilai social komunal bukan berdirinya saung itu sendiri. Pertanyaan terbesar adalah lantas apa? Apa yang akan dilakukan setelah saung berdiri. Apakah cukup foto bersama di depan saung? Apakah menunggu momen yang tepat (malam tahun baru – setahun sekali, belum 2 tahun, saung sudah rusak, he he)? Atau saung berubah menjadi shelter (keren bener nich..) buat para tukang Bakso atau BUburAyam keliling?

Membangun keinginan berbagi bersama itu jauh lebih susah daripada membangun saung itu sendiri. Mengundang orang datang untuk hadir dengan rasa memiliki itu yang mahal. Tidak semua orang memang terlibat dalam pembangunan saung. Namun besar kecilnya rasa memiliki tidak dinilai seberapa besar (atau seberapa kecil) sumbang sich kita dalam membangun sebuah saung. Saung adalah subyek kebersamaan. Saung tidak dilihat dari seberapa mahal atap (yang disumbang oleh salah satu anggota komunitas) atau seberapa banyak bambu yang dibutuhkan?

Walaupun tadi disebutkan bahwa saung dalam bahasa jawa lebih dikenal dengan Bale Bengong, namun bisa jadi kata SAUNG berasal dari Bahasa jawa dan Sunda (saya kurang paham bahasa Sunda). Saung bisa diartikan sebagai Srawung. “Srawung” mempunyai arti kata bergaul, berinteraksi. Maka menjadi salah kaprah kemudian ketika saat pembangunan kita guyub tapi setelah sunyi dan paling banter saung hanya digunakan untuk berfoto Selfie.

Tidak relakan kalau saung yang sudah berdiri di satu ruang di BLOK kita berdiri dalam sunyi? Ruang saung yang terbatas itu marilah kita lebarkan dengan ruang hati kita masing-masing…. Karena Saung yang sesungguhnya adalah hati kita, yang bisa menjadi tempat berbagi, berbagi karena SAUNG adalah SRAWUNG…..

POJ02K Celesta, 24 November 2014

Catatan untuk Komunitas Blok J – Celesta

Mendefinisi Ulang Kata “Romantisme”: Sebuah Refleksi

Beberapa hari yang lalu, saya memposting foto-foto saya dan istri pergi mendaki Gunung Lawu di Facebook dan menulis cerita tentang pendakian itu di blog ini. Mendaki gunung menjadi cara kami untuk “merayakan” peringatan pernikahan kami yang ke-10. Banyak yang memberi selamat, namun justru lebih banyak yang “lupa” memberi selamat karena lebih sibuk memberi komentar tentang keromantisan yang terlihat dari foto-foto kami di puncak gunung itu, yang terkenal sebagai poros/sumbu Pulau Jawa itu.

Jpeg

Tentu bukan tujuan kami untuk sekedar narsis dengan foto-foto kami dan mengumpulkan banyak ucapan selamat. Bagi kami perjalanan nyentrik kami ini menjadi ziarah batin kami berdua dalam merefleksikan perjalanan 10 tahun pernikahan kami. Duduk di sebuah restaurant dengan suasana remang-remang memang pilihan “mudah” untuk kami lakukan. Tapi tentu pilihan itu menjadi terlalu lumrah dan terlalu mudah untuk mengapresiasi pencapaian 10 tahun perjalanan ini. Kami pengin berbeda. Kami menginginkan lebih banyak aspek yang tersentil daripada sekedar keintiman berdua yang dibalut suasana romantisme yang “hanya” berlangsung dalam hitungan 1 – 2 jam.

MENGAPA NAIK GUNUNG?

Seperti yang saya ceritakan di sini, bahwa persiapan naik gunung sudah kami mulai sejak 3 – 4 bulan sebelumnya. Foto-foto yang terlihat bagus dengan lanskap pemandangan yang (bagi saya) luar biasa indahnya adalah bonus untuk perjuangan kami. Foto-foto itu sejatinya adalah etalase dalam pernikahan kami. Sejatinya “keindahan” sesungguhnya adalah proses dalam mencapai spot-spot dalam pengambilan foto tersebut. Tapi sekali lagi, tujuan kami bukan untuk sekedar foto dan difoto di tempat-tempat tersebut.

Menjawab pertanyaan di atas, kami mengibaratkan perjalanan pernikahan kami bak perjalanan panjang, berliku, dan penuh tantangan. Perjalanan yang unik yang kami mulai dari bawah, naik tajam nan terjal dalam mencapai tujuan akhir kami. Mendaki gunung menjadi representasi yang komprehensif yang mampu mewakili uniknya perjalanan pernikahan kami.

Honeymoon Stage (Fase Bulan madu)

Pendakian selalu dimulai dengan antusiasme yang tinggi karena cita-cita yang sudah diamini bersama. Menit-menit awal perjalanan menjadi bulan madu kami. Tenaga yang masih berlebih dan suasan hati yang masih penuh keceriaan menambah sensasi perjalanan “bulan madu” kami. Bekal di backpack kami yang masih berlimpah menambah semangat kami. Intensitas langkah kami tidak lah terlalu tergesa mengingat banyak hal baru yang bisa kami nikmati. Mengambil foto dan video di berbagai spot menjadi hiburan yang mewah buat kami. Layaknya masuk di lingkungan dan suasana yang baru, honey moon stage membuat segalanya nampak indah.

Rejection Stage (Fase Penolakan)

Target yang harus kami capai, yaitu sunset masih jauh dari jangkauan kami. Untuk itu kami mempercepat langkah kami, sementara medan semakin sulit. Fisik terasa perlahan tapi pasti menurun. Suasana hati yang mulai berubah menuntut kedewasaan dalam menata dengan baik agar tidak mudah terpancing sesuatu yang tidak mengenakkan hati.

Kami hanya berdua. Kami adalah team, yang selalu harus saling menyemangati tapi di saat yang bersamaan sering menuntut untuk dimengerti dan dipahami. Tarik ulur kedewasaan diperlukan di saat suasana semakin menantang dengan semakin terjalnya perjalanan dan ketidakpastian akan kapan kami mencapai tujuan kami. Fase ini menjadi fase krusial kami dalam perjalanan yang masih jauh untuk dituntaskan.

Adjustment and Reorientation Stage (Fase Penyesuaian)

Penyesuaian mau tidak mau harus dilakukan. Tahapan emosi berikutnya menjadi lebih tertata. Meski kondisi fisik terus menurun dan perbekalan semakin menipis, upah perjalanan kami sedikit demi sedikit terbayar. Keindahan alam di kanan kiri seakan menghapus lelah meski sesaat. Tebaran bunga keabadian Edelweis menyuguhkan suasana yang romantis dalam arti sesungguhnya. Kesendirian kami berdua di lengang alam di dataran lebih dari 2000 MDPL memberi privilege untuk kami berdua. Ya, alam Lawu ini terasa milik kami berdua.

Namun semakin tinggi kami mendaki, bahaya dan tantangan sejatinya semakin mengintai. Jurang yang tertutup kabut seakan mngintai kami di saat kami lengah. Pun di saat kehidupan rumah tangga dalam kenyataannya sering kali menghadapi “bahaya” yang tidak tampak. Bisa berkaitan dngan masalah keuangan, relasi maupun pola asuh anak.

Perbedaan pendapat juga menjadi dinamika dalam perjalanan kami. Keputusan jalan yang mana yang perlu ditempuh atau kapan kami perlu istirahat kadang menjadi diskusi seru.

Adaptation Stage (Fase Adaptasi)

Menjelang area puncak, pandangan semakin indah. Banyak pepohonan asing yang jarang kami lihat. Hamparan rumput menghijau dipadu dengan tebing-tebing batu terpadu dalam komposisi yang pas yang mnghadirkan lukisan 3D yang luar biasa indahnya. Terbersit angan, seandainya kami bisa punya rumah di tempat itu. Ah, damai sekali kehidupan  di tempat ini. Jauh dari hiruk pikuk keramaian yang bising. Emosi sering teraduk-aduk karena tekanan pekerjaan, tanggung jawab sosial maupun tuntutan ekonomi.

Suguhan keindahan yang melenakan kami seakan menjadi penghalang kami untuk beranjak dari “kenyataan hidup”. Rasa letih dan penat seakan bersembunyi tak mau disalahkan, bersembunyi di balik suasana indah di sekitar kami, sebagai pihak yang dikambinghitamkan untuk keengganan kami beranjak.

Kembali ke Kenyataan….

Menjelang petang kami sampai di Puncak Lawu. Puncak tertinggi sebagai “tujuan akhir” perjalanan sudah kami capai. Penat dan letih seakan sirna di sapu angin dan kabut yang menerpa badan kami. Sihir keindahan Puncak Hargo Dumilah di ketinggian 3265 MDPL seharusnya menjadi selimut kelelahan kami dan obat paling mujarab untuk memulihkan kondisi tubuh-tubuh lelah kami. Tapi harapan dan kenyataan seakan musuh bebuyutan yang saling bertarung untuk menjadi pemenang. Dan kenyataannya, pemenangnya adalah suasana yang lengang dan rasa dingin yang teramat sangat menyiksa kami. Maka kami pun harus berdamai dan menyerah dngan kenyataan untuk tidak tinggal terlalu lama di “puncak kemenangan” kami.

Kami harus menghadapai (lagi) tantangan-tantangan lain yang jauh lebih berat. Tapi kondisi inilah yang harus segera kami gauli. Memang selama nafas terus berhembus, kehidupan akan terus memberi kejutan-kejutan indah….Kami beradaptasi, kami terkaget-kaget lagi di perjalanan menuruni lereng-lereng gelap berkabut, di antara bukit-bukit membisu yang semakin angkuh di kanan kiri kami. Hanya kesetiaan rembulan redup dan dinginnya malam yang menemai lelah kami untuk segera sampai ke dunia tempat kami tinggal dan beraktivitas sehari-hari.

Terdefinisi ulang

Akhirnya, romantisme mengejawantah dalam perjalanan kami. Bukan sekedar pada foto dan video kami. Sesungguhnya, romatisme tidak hanya berhenti pada tahapan Bulan Madu atau saat-saat indah yang penuh memorabilia cinta masa lalu….. Romantisme adalah hak setiap momen kehidupan, baik dalam dinamika suka maupun duka. Romantisme tidak hanya terekspresikan dengan kata-kata lisan yang manis nan puitis atau sodoran bunga mawar merah segar yang sakan mnjadi trade mark anak-anak remaja dalam mengekspresikan romantisme mereka.

Bagi kami, romantisme adalah mampu tersenyum dengan tulus pemupus lelah dan penat pasangan kita. Rela untuk mampu mnjadi pencetus tawa di saat kita sendiri butuh penghiburan…

Akhirnya….Perjalanan kami masih panjang….Ujian kami belumlah usai…..Biarlah romantisme bukan menjadi setangkai mawar yang beberapa hari ke depan layu, namun menjadi pohon bunga mawar yang selalu bisa kami jaga untuk terus berbunga sepanjang waktu….menemani kami dalam suka duka dan untung malang perjalanan rumah tangga kami.

Dengan penuh cinta,

11 Juli 2015

Catatan Pendakian Gunung Lawu (Bagian 2 – Kami Tersesat)

Setelah perjuangan panjang mendaki Lawu selama kurang lebih 9 jam, akhirnya kami sampai di PUNCAK HARGO DUMILAH. Puncak yang ditandai dengan sebuah tugu dengan bendera Merah Putih di atasnya. Di tugu itu tertulis bahwa lokasi itu terletak di ketinggian 3265 MDPL.
Keadaan Puncak Hargo Dumilah yang sangat sepi dan turunnya kabut yang begitu cpat dan sangat tebal menjadi pertimbangan untuk segera turun dan mencari Warung Mbok Yem, Warung di area Puncak Lawu, untuk bisa menikmati semangkok mi instant rebus panas.

Langsung TURUN dan TERSESAT!!!
Setelah sampai kembali di Pos 5, kami memutuskan untuk pulang melalui Cemoro Sewu. Jadi kami ambil jalur sebelah kanan melewati Hargo Dalem. Namun, setelah sekian lama berjalan, kurang lebih 30 mnit, kami tidak mnmukan tanda-tanda kehadiran orang lain, apalagi bangunan Mbok Yem. Memang saya tidak tahu persis letak warung Mbok Ym. Yang saya temui adalah bangunan besar, gelap dan sepi (Hargo Dalem). Secara insting, saya mendekati bangunan itu, namun Sisil memilih mengambil jalur satunya, menjauhi bangunan besar itu. Karna bangunan itu tampak wingit atau kramat. Kami pun berjalan bergegas tanpa pikir panjang menjauhi bangunan itu. Setelah beberapa saat kami melewati rumah yang disusun dari botol-botol bekas (oleh Mas Babi, disebut Rumah botol). Sayang, kami tidak sempat mengambil foto nya.
Suasana mistis Lawu sungguh terasa. Angin yang bertiup kencang yang menerpa daun-daun cemara menimbulkan suara-suara berdesir yang luar biasa menciutkan hati. Kabut yang seakan mengejar langkah-langkah bergegas kami, mengesankan bahwa kami terdampar di negri antah berantah.

Dikelilingi bayangan puncak-puncak bukit yang di sapu sinar bulan purnama menambah kesuraman perjalanan kami pulang. Terlebih, ketika kami sampai di hamparan bebatuan yang saya tahu itu disebut sebgai Pasar Setan. Saya simpan rapat-rapat berbagai cerita mistis yang pernah saya dengar tentang area tersebut. Saya biarkan istri jalan di depan, sambil mengenali jalan setapak yang seringkali menghilang dan kami perlu beberapa menit untuk memutuskan, jalur mana yang akan kami ambil. Saya menpis bayangan-bayangan horor yang menghantui pikiran yang bisa menambah berat langkah.
Jalanan yang semakin menggelap, meski diterangi temaram cahaya bulan. Kami mempercepat langkah kami, dengan target yang kami ubah!! Bukan Warung Mbok Yem lagi, tapi kami mencoba mencari tanah yang datar untuk kami bisa dirikan tenda. Namun kami memilih menjauhi area puncak yang dipenuhi kabut. Puncak Lawu nan dingin, berkabut dan (perasaan saya) penuh aroma mistis. Kami menjauh secepat mungkin dan berharap segera menemukan tempat yang relatif tidak terlalu dingin untuk kami bisa beristirahat membuka tenda dan memasak untuk makan malam.

Saya mulai mnyadari bahwa kami melewati jalur yang SALAH!!! Karakter jalanan yang sama skali berbeda dengan memori yang tersimpan sejak SMA maupun dari informasi-informasi tentang jalur Cemoro Sewu, sungguh bertolak belakang dari jalur yang kami berdua lewati.

Seiring jauhnya kami dari Puncak Lawu, kami semakin memasuki hutan. Memang dibeberapa tanda di pohon mnunjukkan bahwa jalur itu memang dilewati pendaki. Rasa ciut di hati kami semakin menjadi yang kami ekspresikan dalam diam, karna kami kawatirkan sebuah kata yang menunjukkan kekawatiran justru menambah rasa was-was kami.
Jalan setapak yang kami lewati seringkali tertutup oleh rerumputan liar. Sinar senter sungguh membantu untuk kami terus berjalan. Sembari berjalan, kami bertanya-tanya, sampai dimana ujung jalan setapak ini. Jam sudah menunjukkan kira-kira pukul 21.00. Kami sudah tidak peduli lagi dengan rasa lapar maupun kaki dan lutut kami, yang sejak menjelang Puncak sudah mulai membengkak. Suara air terjun, yang kemungkinan besar adalah Grojogan Sewu, sayup-sayup terdengar menambah rasa nglangut dalam hati.

Setelah berjalan dalam track yang mendatar. Kami mulai menemukan track menurun tajam yang seakan tidak memberi kesempatan kaki-kaki lelah kami untuk sekedar beristirahat. Perjalanan sudah tidak scpat 1 – 2 jam sebelumnya. Kaki-kaki istri sudah semakin melemah, tapi stiap kali saya tawari istirahat, dia lebih memilih untuk terus berjalan.
Hal yang cukup mmbuat lega kami adalah, di kejauhan nun jauh di bawah sudah tampak lampu-lampu rumah penduduk. Ini menambah smangat kami, bahwa kami menuju ke arah yang benar dan sebentar lagi kami samoai di pemukiman (yang beberepa jam ke depan kami baru tahu, kami SALAH!!!).

Jalanan yang menurun dan penuh dengan tumbuh-tumbuhan perdu penuh duri, mulai mlukai tangan dan sempat melukai wajah Sisil. Setiap kali ada turunan tajam, hanya tetumbuhan itu yang bisa “mmbantu” kami agar bisa menjaga keseimbangan. Di saat fisik sudah semakin menurun, tanda-tanda kehidupan berupa lampu di kejauhan, tampaknya enggan kami dekati. Kami merasa sudah berjalan lebih dari 2 jam, sejak kami melihat lampu-lampu tersebut, rasanya jarak belum terpangkas secara signifikan.
Sisil sudah tidak kuat berjalan lagi. Tubuh lelah yang harus menopang tas punggung yang cukup berat, hanya “tertolong” oleh jalanan menurun. Dia “hanya” mampu ngesot sambil menyeret beban nya. Saya sendiri tidak bisa membantu banyak. Tas di punggung saya pun jauh lebih berat dan tali-tali tas sudah mulai melukai pundak kanan dan kiri.
Namun Sisil bukan wanita yang mudah menyerah. Kesakitan di kaki nya tidak menjadikan alasan untuk mudah menyerah oleh tawaran saya untuk mmbuka tenda dan bermalam di tempat yang agak terbuka. Dia masih terus berusaha “berjalan” dengan menyeret tubuhnya. Perjalanan semakin melambat. Kami seperti dikejar malam dalam sebuah pelarian. Malam bukan lagi mnjadi teman dalam istirahat kami, tapi tampak menyembunyikan apa yang kami inginkan, yaitu jalanana yang landai dan lapang.

Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Perut saya sudah mulai protes. Sejak jam 16.30, kami belum kemasukan makanan. Kami “hanya” merasa kehausan, karena rasa hauslah yang paling praktis bisa kami obati, dibandingkan rasa lapar, yang terlalu repot untuk kami puaskan. Bahan makanan kami simpan di tempat yang terlalu repot untuk kami bongkar. Waktu terlalu berharga buat kami untuk bisa kami “sia-siakan”.

Kali ini, tawaran untuk istirahat, diiyakan Sisil. Namun istirahat hanya skitar 10 – 15 mnit. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan dengan diiringi kesakitan yang semakin menjadi dari Sisil. Namun perjalanan masih bisa diteruskan sampai 2 jam ke depan. Tentu dengan karakter jalanan dan kondisi tubuh kami, jangan dibayangkan kami mampu berjalan jauh.

AKHIRNYA BERMALAM DAN MERAYAKAN PERINGATAN PERNIKAHAN KAMI
Sisil tidak mungkin menolak lagi. Akhirnya ia menyerah. Tepat pukul 00.00, di sebuah tanah “lapang” , yang sejatinya hanya tepian jalanan yang agak melandai dan sedikit lebar, tawarin untuk membuka tenda akhirnya diiyakan. Setelah tenda berdiri, saya pun menyiapkan kompor untuk kami bisa memasak. Bayangan mie instant rebus dan kopi panas semakin menambah semangat kami untuk melawan menggigilnya tubuh kedinginan kami.
Namun bayangan di atas hanya berhenti pada ILUSI. Kompor gas yang kami siapkan tidak berhasil kami nyalakan. Pemantik apinya, tidak mampu melawan dinginnya malam. Dan kami tidak membawa korek api untuk menyalakan kompor kami. Kami kemudian mengandalkan makanan yang ada di perbekalan kami, yaitu chocolate dan crackers yang masih tersisa. Kopi pun kami buat dengan air dingin.

Sungguh, dalam kondisi yang serba survival, makanan yang masuk, sudah kami rasa sangat cukup. Kami pun bersiap tidur setelah berdoa untuk “merayakan” peringatan pernikahan kami. Ya, 2 Juli, 10 tahun kami menikah. Dan sungguh di luar bayangan kami, kami “merayakan” dengan cara seekstrim ini.

Saya tertidur pulas. Matahari pagi pukul 07.00 mmbangunkan kami. Beberapa menit bangun, saya tidak bisa menggerakkan badan yang terselimuti Sleeping Bag. Kaki terasa kaku dan bengkak. Badan pegal-pegal, terutama pundak yang diperparah oleh rasa perih akibat terlalu lama menggendong tas punggung.
Sekitar jam 07.30, kami dikagetkan oleh suara orang yang bertanya “Mau naik atau turun Mas?”. Saya jawab cepat bahwa kami mau turun, sembari membuka tnda. Saya masih sempat melihat orang yang menyapa kami naik ke atas dengan membawa semacam keranjang atau tas di punggung. Tampak nya seperti penduduk lokal. Saya dalam hati lega, berarti tidak lama lagi, akan menemukan pemukiman penduduk di bawah sana.

LANJUTKAN PERJALANAN
Meski sudah beristirahat beberapa jam, karna kondisi jalanan tidak berubah, masih berupa turunan tajam dan

Jpeg

Pukul 7.30 – Bersiap Bongkar Tenda

semak-semak di kanan kiri, kecepatan jalan kami belum bisa maksimal. Perut kosong belum sarapan juga mnambah miris keadaan kami.

Jpeg

Di Pos 2 – Jalur Candi Cetho

Namun setelah beberapa meter turun, ternyata kami menjumpai POS 3. Brupa bangunan yang sederhana, beratap trpal. Sekedar informasi, 2 pos yang kami temukan sebelumnya, yaitu Pos 5 hanya berupa tulisan di pohon, sedangaken Pos 4 masih mmpunyai area lapang di sekitarnya.OKarna sudah berisitirahat, kami mutuskan untuk terus berjalan dan melewati Pos 3. Sekitar pukul 9.40, kami menemukan Pos 2. Keadaan hampir sama dngan Pos 3, hanya terdapat pohon yang cukup besar, yang batangnya dikellingi kain mori/kafan dan area tanah lapang yang tidak cukup besar. Setelah beberapa menit beristirahat dan mengambil beberapa foto, kami lanjutkan perjalanan.
Matahari sudah semakin mninggi. Panas sudah semakin menyengat. Di beberapa titik, tanaman perdu mendominasi, sehingga, tidak mampu melindungi tubuh kami dari terpaan sinar matahari.

Jpeg

Pos 1 – Jalur Candi Cetho

Setelah berjalan sekitar 1 jam, tepatnya pukul 10. 45, kami menemukan Pos 1. Setiap kami menemukan sebuah pos, kami merasa jarak terpangkas secara signifikan. Motivasi kami tumbuh kembali. Energi yang terkuras habis, bisa secara alami bangkit kmbali. Menemukan Pos 1, berarti sebentar lagi kami menemukan Basecamp (syukurlah kami tidak tahu, bahwa perjalanan kami tidak sesingkat itu sejati nya – setidaknya perlu 3 jam ke depan).

Kami semakin percaya diri, bahwa kami masih bisa sampai di Solo jam 14.00 atau jam 15.00. Mengingat kami harus sudah sampai di kaliurang jam 19.00 untuk bergabung dengan keluarga besar yang akan mengadakan pertmuan keluarga tahunan di sana. Semangat ini pulalah yang melecut kami untuk terus berjalan. Keadaan siang hari, walaupun panas, setidaknya mengurangi beban emosi dan psikologis kami dalam menempuh perjalanan. Jalanan yang terang dan sesekali bunyi SMS mapun Line yang masuk sejak di POS 3 menebalkan semangat kami untuk terus berjalan.

BERTEMU PARA DEWA PENOLONG
Sekitar pukul 12.30, kami mulai menemukan tanda-tanda dekatnya posisi kami dengan penduduk sekitar. Kami menemukan lahan perkebunan. Langkah kaki kami terasa ringan. Sudah mulai keluar candaan dari mulut kami. Saya yang beberpa jam yang lalu mulai meragukan bahwa ini bukan track Cemoro Sewu, berkelakar bahwa jangan-jangan track ini berakhir di sebuah daerah di Jawa Timur, jauh dari posisi kami di seputaran Cemoro Kandang. …

Beberapa menit berjalan, akhirnya kami melihat 2 motor, ya MOTOR!!!, kndaraan biasa yang terlihat luar biasa dalam keadaan yang jauh dari peradaban ini. Kami mempercepat langkah sembari mendekati 2 motor yang terparkir dan 2 orang yang sedang duduk di bawah pohon. Kami pun bertanya ke salah satu orang itu, yang nanti kami ketahui bernama Aji, apakah Cemoro Sewu masih jauh jaraknya. Dengan wajah yang cukup kaget, orang itu mnjawab kalo jalur ini bukan jalur Cemoro Sewu. Setelah obrolan singkat, ternyata kami ketahui bahwa kami benar-bnar salah jalur. Untuk kembali ke Cemoro Kandang, tempat kami menitipkan motor, minimal kami harus menempuh perjalanan 20 km untuk mencapai jalan raya Tawangmangu – Solo. Dan kami harus melanjutkan naik bis sekitar 12 km, dan 10 km lagi untuk kamii bisa sampai di Cmoro Kandang. Jadi total “sisa” perjalanan kami sekitar 42 km!!!!! Ya Tuhan…Lemaslah badan kami….
Orang itu kemudian menyarankan untuk jalan ke pemukiman terdekat, sekitar 8 – 10 km, dan berharap ada ojek atau truk untuk bisa ditumpangi sampai di jalan raya Tawangmangu – Solo. Setidaknya sampai bisa mencapai transportasi umum agar mudah kami mencapai Cemoro Kandang.

Saya menoleh ke Sisil, dan tatapan saya mngajak untuk meneruskan perjalanan. Kami pun berpamitan ke 2 orang itu dan melanjutkan prjalanan. Keadaan Sisil yang sudah kepayahan menjadi penghalang terbesar kami untuk menyusuri jalanan desa yang meski sudah dibeton, tp jalanan sangat curam dan menambah kesulitan untuk kaki-kaki penuh derita kami.
Setelah berjalan kurang lebih 100 meter, Sisil menyerah dan berharap bisa menemui orang untuk bersedia dibayar untuk jasanya mengantar kami. Kami perkirakan perlu 100 – 150 ribu untuk mencapai Cemoro Kandang. Sedikit menyesal kenapa tadi saya tidak minta “bantuan” 2 orang yang kami temui tadi untuk mngantar kami.

Pertolongan Tuhan selalu datang di saat yang tepat. Dua orang yang kami temui sebelumnya, mengendarai motor mereka untuk menuju ke bawah. Mereka menawarkan bantuan untuk mengantar kami. Tanpa basa-basi kami menerima tawaran tersebut. Tuhan sungguh baik….

Sambil berjalan, kami ngobrol dan saya membonceng motor yang dikendarai Mas Aji. Sebuah motor berjenis trail yang berplat “B”. Dari obrolan itu saya tahu, kalau ia bkrja di Indoood, khusunya dalam mengkoordinir petani setmpat dalam penanaman kentang untuk produksi CITATO dan LAYS.

Setelah melewati berbagai desa dengan jalan yang berkelak kelok sekitar 20 km, sampailah kami di jalan raya Kaliurang – Solo. Mereka kebtulan mau ke daerah Solo, jadi kami diturunkan di minimarket terdekat. Mereka menolak sodoran uang pengganti bensin dari Sisil dan mau segera melanjutkan perjalanan ke Solo.
Lalu kami mampir di Warung Kupat Tahu di samping minimarket tersbut. Kami memesan 2 porsi kupat tahu, dan 2 glas s jruk. Sungguh…..Ini menu tiada 2 nya setelah prjalanan yang seakan tak berujung.

Tak brapa lama, saya melanjtukan perjalanan ke Terminal Tawangmangu yang berjarak 12 km dengan bis. Sisil saya tinggal di warung tadi sambil mnjaga barang-barangnya. Setelah sampai di terminal Tawangmangu, saya menggunakan jasa ojek untuk bisa sampai ke Cemoro Kandang. Sekitar jam 14.00 sampailah saya di Basecamp Cemoro Kandang. Mas Babi dan temannya sedang berbincang. Begitu melihat saya, Mas Babi mengira saya turun lewat jalur Cemoro Sewu.

Setelah bercerita panjang lebar, ternyata jalur yang saya tempuh semalam, adalah jalur Cetho (Candi Cetho). Jalur itu tidak resmi atau tidak populer di kalangan pendaki karena akses nya yang tidak bersahabat. Mas Babi bertanya apakah semalam kami bertemu babi hutan atau tidak. Karna mnurutnya, jalur itu kalau malam, sering sekali dilewati babi hutan. Bergidik saya mngingat perjalanan semalam.

Ah, sudahlah, yang terpenting kami bisa selamat melewati jalur itu, jalur yang mungkin kami lewati hanya sekali seumur hidup kami. Seraya terus bersyukur, saya melaju motor untuk jemput Sisil dan selanjutnya menuju Kota Solo.

Tangerang Selatan, 7 Juli 2015

Catatan Pendakian Gunung Lawu (Bagian 1 – Pendakian)

Pernikahan merupakan salah satu momnt terindah dalam perjalan hidup sebagian besar orang. Maka selayaknya bahwa peringatan pernikahan menjadi sebuah ritual tahunan yang tidak boleh terlewatkan. Jika memungkinkan, peringatannya dibuat seromantis mungkin untuk bisa mencapai romantism flashback dalam memperingatinya.
Pun dengan kami. Kami memutuskan untuk memperingati pernikahan kami yang k-10 dengan cara yang tidak biasa. Kami memang mengistimewakan dasa warsa pernikahan kami ini. Usia psikologis pernikahan yang menginjak 10 tahun pertama harus dibuat berbeda.
PERSIAPAN
Maka, kami memutuskan untuk MENDAKI GUNUNG. Saya mengusulkan untuk naik Gunung Lawu mengingat Gunung Lawu terletak di Jawa Tengah, sekalian mudik untuk acara keluarga tahunan. Plus, semasa SMA dulu (21 tahun yang lalu), saya pernah naik Gunung Lawu dengan track yang tidak terlalu ekstrim.
Kami sadar, fisik tidak sekuat kami 10 atau 15 tahun yang lalu. Berat badan juga sudah jauh lebih melambung. Berat badan saya 88 kg per awal April 2015 dan istri saya 60 kg. Maka sekalian melatih fisik kami, kami juga mlakukan diet ketat selama 3 – 4 bulan. Pola latihan fisik sprti lari pagi scara rutin, gym dan istri gabung ke club muay thai menjadi santapan kami untuk meningkatkan kualitas isik dan stamina kami.
Dalam pengaturan pola makan (diet), kami menerapkan OCD sebagai diet harian kami, dan dalam 2 minggu sebelum pendakian, kami melakukan diet Mayo. Alhasil, berat badan saya turun menjadi 72 kg dan istri saya 53 kg. Masih jauh dari berat badan kami saat kami menikah, berat badan saya waktu itu 64 kg dan istri 48 kg. Tapi dari segi kualitas fisik dan stamina, kami merasa jauh lebih fit.
PENDAKIAN
Kami menuju ke Jawa Tengah hanya berdua. Anak kami, Damai, kami tinggal di rumah Mbahnya. Kami pergi dari tgl 30 Juni sampai dengan 4 Juli 2015. Untuk pendakian dilakukan tanggal 1 Juli dan kami saat itu berencana untuk menginap di Puncak Lawu dan memperingati pernikahan kami tepat jam 12 malam di atas Puncak Lawu.
Semua perlengkapan dan peralatan mendaki gunung sudah saya pesan jauh hari melalui Kece Adventure di Solo dan dibantu urus oleh adik sepupu kami, Feby, yang memang tinggal di Solo.
Berangkat dari Pasar Senen tgl 30 Juni, jam 16.00 dengan kereta api ekonomi, Brantas. Kami tiba di Stasiun Solojebres pukul 03.00 pagi – telat 1 jam dari perkiraan waktu yang tertera di tiket kereta. Kami sudah ditunggu Feby dan dijemput untuk istirahat di rumahnya sekaligus repacking untuk keperluan pendakian.
Setelah istirahat, repacking dan sarapan, kami berangkat menuju ke arah Tawangmangu pukul 6.30 dari semula kami rencanakan jam 05.00 pagi. Menggunakan sepeda motor, kami menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam dan tiba di Cemoro Kandang (salah satu basecamp populer selain Cemoro Sewu untuk menuju Puncak Lawu). Setelah menyelesaikan urusan administrasi sederhana, pendaftaran dan pembayaran, yang dilayani oleh Mas Babi dari AGL (Anak Gunung Lawu), kami pun mulai pendakian tepat pukul 08.00 WIB.
Pos 1
Setelah melakukan pendakian selama 1 jam kami sampailah di Pos 1. Sekitar pukul 09.00 kami tiba di sebuah bangunan beratap seng. Kondisi bangunannya penuh dengan coretan dan kotor. Setelah beristirahat selama kurang lebih 10 – 15 menit, kami pun melanjutkan perjalanan.

Jpeg

Di Pos 1

Pos 2
Perjalanan dari POS 1 menuju POS 2 kurang lebih sama keadaannya. Jalanan menanjak dengan tanah liat/merah yang tidak rata. Pepohonan masih banyak di kanan dan kiri, namun di banyak titik terdapat bekas kebakaran atau sengaja di tebang. Kami tiba di Pos 2 sekitar pukul 10.00.

Jpeg

Di Pos 2

Pos Bayangan
Jarak antara Pos 2 dan Pos 3 sangatlah jauh. Maka di tengah-tengah perjalanan, dibangunlah Pos Bayangan. Pos bayangan ini hanya terdiri dari batang-batang kayu yang menopang seng. Tidak ada material batu atau adukan semen untuk dinding-dinding nya. Kami tidak terlalu lama singgah di Pos bayanga tersebut. Jadi begitu tiba di sana pukul 11.15, kami segera melanjutkan perjalanan.
Pos 3
Setelah berjalankurang lebih 2 jam, kami sampai di POS 3. Lucunya, karena jarak terlalu jauh antara Pos bayangan dan Pos 3, kami beristirahat beberapa puluh meter sebelum/di bawah Pos 3. Kami terlalu capek untuk melanjutkan perjalanan, tanpa mengetahui bahwa beberapa saat lagi, lokasi Pos 3 sudah dapat dicapai. Tepat pukul 13.00 kami bisa menjangkau Pos 3.
Pos 4

Jpeg

Berpose di seberang Pos 4

Pos 4 terletak di sebuah hamparan rerumputan. Kondisi Pos ini tidak jauh berbeda dengan ketiga pos sebelumnya. Di depan Pos 4, di tengah hamparan rerumputan terdapat paling tidak 2 prasasti menyerupai nisan yang bertuliskan nama orang yang sudah meninggal. Dari informasi yang saya dapatkan, itu bukan makam, hanya berupa penanda, bahwa mungkin di lokasi inilah, orang-orang tersebut meninggal, namun jasadnya dipastikan dibawa turun. Kami mencapai Pos 4 pukul 15.00 WIB. Keadaan langit masih terang, namun langit diterpa kabut yang disapu angin sehingga menambah indahnya keadaan sekeliling kami.
Pos 5
Kami bergegas untuk segera mencapai Pos 5. Dengan target bahwa kami bisa melihat sunset di Puncak hargo Dumilah, maka kami memompa semangat untuk bisa segera sampai setidaknya Pos 5 sebelum gelap. Jalanan menuju Pos 5 berupa jalanan yang penuh bebatuan, tidak terlalu banyak track mendaki, tp justru track yang menurun. Kami seperti menuju lembah yang di penuhi oleh perdu-perduan, seperti Edelweis dan jenis tanaman yang lain.

Jpeg

Pos 5 – hanya berupa papan penunjuk arah

Pukul 16.10, akhirnya kami mencapai Pos 5. Pos 5 ini hanya berupa penanda, berupa papan nama yang menunjukkan arah ke Cemoro Kandang (arah berlawanan dengan arah kedatangan kami, arah Puncak Hargo Dumilah (arah menuju ke atas) dan arah ke Hargo Dalem, arah yang berbelok ke kanan, jika kami membelakangi track menuju Puncak.
Kami beristirahat sekitar 10 menit, sebelum bergegas menuntaskan track terakhir kami untuk mencapai Puncak hargo Dumilah.
Puncak Hargo Dumilah
Jalur ke Puncak di tempuh kurang lebih 30 menit. Jalanan sangat curam dan diperparah dengan jalanan penuh batu yang berserakan memenuhi jalanan. Bebatuan itu mudah longsor jika kami tidak berhati-hati saat memilih pijakan kaki.
Dengan sisa-sisa tenaga dan kondisi kaki yang sangat letih, kami akhirnya sampai juga di sekitar pukul 16.45.

Jpeg

Akhirnya….

Perjalanan mendaki sampai ke Puncak Hargo Dumilah memang melelahkan. Tapi bagi kami, perjalanan turun gunung, kembali ke Basecamp sungguh di luar perkiraan kami….Dramatis dan menguras emosi kami berdua. Kami akan ceritakan di Bagian 2.
(Bersambung)

Sumpah, Tak Mudah……. (2)

Seperti yang saya ceritakan di bagian pertama, sekolah telah menjadi rutinitas (yang menyenangkan) untuk Damai selama kurang dari 4 tahun belakangan ini. Tentu saja rutinitas itu juga telah menjadi bagian dari kenyamanan kami, karena segala rutinitas kami pun telah menyesuaikan dengan jadwal hariannya.

Sampai kemudian kami berpikir untuk melaksanakan homeschooling untuk anak kami, yang awalnya hanya sambil lalu, karena kami yakin Damai akan menolaknya. Namun ternyata setelah beberapa saat (kurang lebih) 3 bulan, dia keukeuh meminta belajar di rumah. Kami pun menyerah dan Damai meminta awal Oktober, namun setelah kami bertanya ke sekolah, ternyata tgl 11 Oktober Damai harus menjadi mayoret dan anggota choir di acara Open House. Saya memastikan bahwa jangan sampai Damai “berkeinginan” untuk homeschooling, hanya karena ingin “lari” dari tanggung jawab sebagai mayoret atau pentas bersama paduan suaranya. Maka kami pun menawar Damai agar ma memulai homeschooling setelah tgl 11 Oktober 2014.

Damaipun setuju. Yang membanggakan sekaligus mengharukan kami adalah walaupun Damai sudah tahu bakal homeschooling mulai minggu depannya, namun dia tetap bersemangat mengerjakan PR yang diberikan gurunya. Dia pun tak tampak bersedih dengan rencana atau keputusan yang dia mau. Kamis, 9 Oktober, Damai membagi-bagi kue perpisahan untuk teman-temannya. Hampir semua teman-teman perempuannya menangis saat mereka tahu Damai akan segera memulai homeschooling nya (Damai nya cool-cool aja..he ..he…). Momen itu terasa dramatis. Sampai kemudian tibalah hari terakhir Damai pergi sekolah yaitu Sabtu, 11 Oktober 2014. Damai bersemangat ke sekolah pagi-pagi krn mau jadi mayoret dan kelompok drum bandnya adalah sebagai pebuka acara. Saya sengaja mengambil cuti dan bersama istri saya mengunggu dari awal sampai akhir acara. Saat menunggu Damai pentas, kesibukan kami adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang cenderung serupa dari para orang tua, baik yang kami kenal maupun yang tidak terlalu dekat.

ADA MASALAH APA DAMAI DENGAN SEKOLAHNYA?

Pertanyaan itu yang paling sering ditanyakan secara umum. Tentu tak mudah bagi kami menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Karena secara konsep, begitu panjang dan mendetil yang perlu kami sampaikan. Satu jawaban pasti akan menimbulkan pertanyaan yang lain. Satu penjelasan pasti menimbulkan tanda tanya berikutnya. Maka kami pun sepakat untuk banyak orang kami sampaikan bahwa tidak ada masalah sedikit pun dengan sekolah. Sekolah telah memberikan banyak hal yang baru untuk anak kami. Hanya saja Damai ingin merasakan pengalaman berbeda dan lebih intensive belajar dengan papa mamanya. Dan benar saja, jawaban ini pun memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Beberapa “yang beruntung”, kami berikan penjelasan yang lebih komprehensif. Sedangkan yang lain, kami biarkan sibuk dengan syak dan prasangka.

Masih banyak pertanyaan yang perlu kami “pertanggungjawabkan”, misalnya tentang sosialisasi, evaluasi belajar, nilai-nilai rapor nya, ijazah, ujian akhir/nasional, sampai hal-hal detil lainnya. Tapi biarlah, jawaban-jawaban tersebut bisa jadi bahan postingan saya nantinya mungkin.

GURU DAN TEMAN TERBAIK

Konsekuensi yang harus kami ambil adalah kami menjadi lebih sibuk dengan hari-hari kami. Menyiapkan bahan pelajaran, bacaan pendukung, kurikulum dan tentu saja rancangan kegiatan yang menyenangkan sebagai pendukung proses belajarnya. Kami harus siap menjadi kepala sekolah dan guru yang baru untuk anak kami. Kami pun secara mental harus siap menghadapi keadaan yang anti mainstream. Pertanyaan demi pertanyaan penuh selidik harus kami hadapi. Tentu bukan hanya karena kami ingin tampil beda saat kami memutuskan ini. Berbagai kajian dan pertimbangan yang kami olah untuk kami matangkan dengan ilimu-ilmu kami yang sempat mengenyam Ilmu Pendidikan kala kuliah dulu.

Kami secara pribadi setuju dengan pendapat bahwa anak-anak usia dini, lebih baik, menghabiskan lebih banyak waktu dengan orang tuanya. Tentu kami tidak lupa menyeimbangkan dengan kegiataan-kegiatan yang berbasis komunitas yang memungkinkan ia tumbuh menjadi pribadi yang secara sosial pun peka tanpa harus tumbuh di sekolah formal. Paling tidak di pedidikan dasar. Kami sadar bahwa perkembangan anak tidak hanya didasarkan pada aspek kognitif saja, namun juga bagaimana ia tumbuh dengan sisi afektif dan psikomotorik yang seimbang. Kecerdasan-kecerdasan spiritual dan emosional biarlah kami kembangkan dengan program-program yang kami susun bersama dengan bantuan berbagai referensi, masukan dan pengalaman hidup kami. Kami ingin anak kami membuat kami “sibuk belajar” lagi seperti halnya ia pun “sibuk belajar” dalam kegiatan “bersekolah baru”nya di rumah. Tentu kami tidak mebutakan diri terhadap segala masukan, karena kamipun masih belajar dan terus belajar, sebagai orang tua, sebagai guru, sebagai teman. Kami pun terus mengasah diri agar bisa mempertanggungjawabkan perkembangan anak kami.

Semoga komitmen kami untuk secara maksimal menghabiskan waktu untuk anak kami dapat berbuah manis di kemudian hari. Kenangan-kenangan akan papa mama nya sebagai teman terbaik di antara teman-temannya yang lain dapat menginspirasinya  menjadi pribadi yang utuh. Suatu saat, kalaupun ia berubah pikiran dengan pertimbangan-pertimbangan mandirinya saat ia lebih dewasa, kami pun secara sukarela tidak akan menghalangi untuk “kembali” ke sekolah (formal). Namun jika sendainya ia tetap menikmati proses belajarnya seperti sekarang, kami harus terus secara sukarela siap menjadi pendamping yang terbaik.

Sumpah, tak mudah….

Papanya Damai

Gading Serpong, 15 Oktober 2014

Sumpah, Tak Mudah …….. (1)

Memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan masa depan memang selalu tidak mudah. Terutama jika keputusan itu bertolak belakang dari pendapat banyak orang. Rasa “nglangut” – sepi dalam ketakberdayaan – tak mudah pupus, apalagi hanya bersandar pada keyakinan tanpa sebuah kepastian.

Demikian juga ketika kami akhirnya memutuskan untuk menarik anak kami dari sekolah yang sudah memberikan banyak hal kepadanya selama 4 tahun terakhir ini. Damai, anak kami, masuk sekolah swasta yang hanya berjarak 300 langkah kaki dari rumah kami. Dekat..ya sangat dekat malah. Mama nya selalu bermimpi anaknya kelak harus bersekolah di sekolah yang paling dekat dari rumah. Ia selalu terkenang, bahwa sejak SD sampai dengan kuliah, selalu berangkat dari rumah jam 5 pagi. Sehingga, 5 tahun lalu, kami merasa sangat terberkati dengan dibangunnya sekolah sawasta tersebut, krn seperti mimpi serasa nyata. Dan benar saja, selama 4 tahun belakangan ini, kami sama sekali tidak terbebani dgn jarak sekolah yg sangat-sangat dekat dgn rumah.

Rasa syukur kami bertambah tatkala anak kami dari baik mulai dari TK sampai SD (kelas 3), Damai tidak mengalami kesulitan baik dalam mengikuti pelajaran maupun bersosialisasi dengan teman-teman dan gurunya. Dia sangat menikmat malah. Bahkan menurut guru-gurunya, Damai mempunyai daya tangkap yg melebihi teman-temannya. Dia selalu tampak bersemangat belajar maupun dalam mengikuti penjelasan guru-gurunya. Puji Tuhan, pada kelas 1 dan 2, dia selalu menjadi yang terbaik untuk pencapaian prestasi akademik, walaupun tentu tidak dinyatakn scr tertulis di buku rapor nya. Para guru wali nya hanya menyampaikan secara lisan.

Begitupun dengan kegiatan yang bersifat kompetitif. Damai selalu ingin tampil terbaik, sehingga dia selalu meraih penghargaan, mulai dari lomba renang, menggambar, kartinian dan berbagai lomba lainnya. Sederet piala menjadi bukti sahih perjuangannya. Dia memang selalu bersemangat untuk yg berkaitan dengan kompetisi. Like father like daughter mungkin..he he….

Dari berbagai rangkaian peristiwa di sekolah, tampak jalan sudah lurus ke depan dan terasa gamblang di depan. Gambaran bahwa Damai akan menyelesaikan masa sekolah di sekolahnya ini. Pernah Damai bilang ke kami, “Pokoknya sampai SMA mau di sini (dia menyebut nama sekolahnya)”. Dia bersama teman-teman dekatnya pun sudah “berkomitmen” ala orang dewasa untuk selalu bersama dengan terus menlajutkan di sekolah tersebut sampai jenjang SMA.

Namun skenario berubah sejak 4 bulan yang lalu. Saat itu saya tertarik dengan konsep homeschooling, yang sebetulnya sudah lama saya mengenalnya, meski hanya sekilas. Namun tentu bukan konsep yang saya dalami mengingat tak terbayangkan anak kami yang tampaknya sangat menikmati belajar di sekolah harus tinggal di rumah sepanjang hari, “hanya” bersama kami, tanpa teman-teman sekolahnya.

Rasa penasaran terhadap konsep homeschooling membawa saya untuk masuk ke sebuah komunitas di dunia maya ttg homeschooling di Indonesia. Saya jadi aktif membaca referensi-referensi mengenai konsep homeschooling. Saya bergabung dengan Komunitas Charlotte Mason Indonesia. Di situ saya membaca berbagai postingan mengenai (betapa menariknya) konsep homeschooling. Saya memberanikan diri untuk membayangkan seandainya Damai ber-“sekolah” secara homeschooling. Tentu hanya sebatas membayangkan.

Pada suatu kesempatan ngobrol dengan istri tetang homeschooling, di luar dugaan ternyata ia pun mengharap Damai bisa belajar di rumah. Bahkan ia mengatakan kalau sejak lama (lebih lama dari ketika ide pertama muncul dari kepalaku) menginginkannya ketika beberapa temannya sudah lebih dahulu memulai konsep sekolah rumah terlebih dahulu.

Iseng, kami menawarkan ide ini ke Damai. Dia tampak begitu tertarik dengan ide ini dan mengajukan berbagai pertanyaan. Dan yang mengejutkan kami, dia bersedia. Kami yang tidak siap dengan jawabannya tentu saja terkejut, dan menganggap itu hanya spontanitas saja. Namun selama beberapa hari, dia terus menanyakan kapan dia bisa mulai “sekolah” di rumah. Kami masih ingat itu adalah 2 minggu setalah masuk sekolah di kelas 3. Mamanya dengan spontasn menjawab bahwa paling cepat tahun depan kalau mau naik kelas 4. TIga minggu kemudian Damai meminta apakah bisa lebih cepat, katakanlah Januari 2015? Dengan “berat hati” kami pun menyetujuinya. Tentu berat buat kami, karena itu artinya, kami harus (tampaknya) benar-benar menyiapkan diri, bukan hanya konsep namun juga teknis – segala sesuatu mengenai pelaksanaan homeschooling tersebut (dengan lebih cepat). Kami pun masih berpikir bahwa nanti sebelum Januari 2015, Damai akan berubah pikiran.

NAMUN TERNYATA DUGAAN KAMI MELESET……. (Lanjut ke bagian 2)

Rindu Mencicip Cerpen

Saya adalah penikmat cerpen. Karya sastra ini adalah berupa sebuah cerita yang ditulis dengan efektif, ringan-ringkas dan tidak bertele-tele. Cerita yang disuguhkan tidak rumit, dan tidak membosankan.

Ketika masih kecil, saya mengenal cerpen secara lisan lewat dongeng-dongeng pengantar tidur yang dituturkan oleh kakek saya. Dongeng-dongeng itu seringkali tidak sampai selesai, karena saya keburu terbang ke alam mimpi. Dongeng-dongeng fabel mendominasi topik dongeng yang saya dengar saat itu. Tentu saja, karena ini lisan, tidak ada judul yang mengawali setiap cerita. Cerita-cerita tentang kancil dengan berbagai variasi cerita begitu melekat di setiap malam yang saya lewati. Cerita (yang kemudian saya beri judul sendiri) seperti Kancil Nyolong (mencuri) Timun, Kancil dan Bubur Nabi Sulaeman, Kancil Menyebrang Sungai, Kancil dan Anjing Penjaga, dsb. Kangen rasayana menceritakan kembali cerita-cerita tersebut.

Setelah bisa membaca, saya mengenalnya dengan lebih variatif lewat tulisan-tulisan di koran dan majalah. Membaca cerpen menjadi kesenangan yang mengasyikkan di sela-sela waktu luang saya. Cerita-cerita pendek karya Arswendo Atmowiloto , Indra Tranggono, Seno Gumira Ajidarma, dll sering saya baca lewat Harian Kompas dan beberapa media cetak saat itu.

Intensitas waktu yang lebih dalam mengeksplorasi Bahasa Inggris saat kuliah, memungkinkan saya membaca cerpen-cerpen berbahasa Inggris. Karya-karya cantik dari F. Scott Fitzgerald, Ernest Hemingway, Shirley Jackson, D. H. Lawrence, Edgar Allan Poe, dsb. cukup akrab dengan hari-hari saya di Yogya saat itu. Salah satu cerpen yang sangat melekat dalam benak saya, dan saya sering ceritakan kembali adalah karya Guy de Maupassant berjudul The Necklace.

Kegiatan membaca cerpen menjadi sebuah romantika masa lalu untuk saat ini. Waktu yang tersita oleh pekerjaan dan waktu luang yang lebih banyak terampas oleh Facebook atau Twitter menjadikan rindu mencicip cerpen terasa lebih menggigit. Namun belum lama ini saya menemukan sebuah web yaitu Cafe Novel yang memungkinkan pengunjungnya untuk menikmati cerpen dari berbagai karya penulis di Indonesia. Terima kasih untuk penggagasnya.

Sejatinya menikmati karya sastra cerpen memungkinkan kita masuk dalam sebuah dunia yang (mungkin) sangat berbeda dengan keseharian kita yang akan memperkaya batin kita….

Erema Village – Cisarua, 12 Maret 2011

The Psychology of  Botak

Dua hari yang lalu saya mencoba (memberanikan diri) mengubah potongan rambut jadi botak…hampir gundul. Panjang rambut hanya sekitar 1 cm.

Butuh keberanian ekstra untuk melakukan hal tersebut, mengingat profesi sekaligus sudah terbiasanya berpenampilan rambut rapi bak karyawan kantoran. Butuh puluhan tanya dilontarkan ke kanan kiri untuk membulatkan tekad mengambil keputusan ini.

Sampai akhirnya sampai juga di tukang cukur yang kebetulan potongan rambutnya plontos. Jadi ketika ditanya”, Rambutnya digimanakan nich Mas?”. Saya pun dengan mantap bilang”,Disamain aja seperti rambut Mas”.

Singkat kata, plontoslah kepala ini, setelah 27 tahun tidak pernah sekalipun berpenampilan seperti ini. Ya, waktu itu umur saya baru 4 tahun, harus dibotakin gara-gara harus kepala dioperasi akibat kecelakaan.

Hari pertama dengan gaya rambut baru, berbagai pertanyaan datang bertubi-tubi.”,Hei, kenapa botak, stress ya?”, “,Ketangkep dimana?”, “Lagi nadar apaan Pak?”, dsb.

Hari kedua udah mulai terbiasa. Paling tidak tidak terlalu sibuk mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan2 yang ga penting tersebut. Kesibukan narsistis juga sudah mulai berkurang ketika menemukan cermin (bukan narsis sich tepatnya, lebih untuk meyakinkan kalau semua baik2 aja…he…he…).

Namun rasa canggung dan kikuk masih berlanjut setiap kali saya datang ke komunitas yang lain, Oiya, kebetulan, saya beraktifitas di banyak komunitas, jadi kejadian yang sama akan terulang – banyak pertanyaan2 yang akhirnya hanya saya tanggapin dengan tersenyum.

Sudah lama saya pengin botak sebenarnya. Tapi selalu dilarang Ibu saya, karena beliau menganggap kepala gundul ya identik dengan NAPI – narapidana. Terlebih mantan pacar saya yang nakut-nakutin dengan bilang”,Kamu itu ya ga pantas, kepala botak, wajahmu ga mendukung. Jadi keliatan culun”. Belum lagi pengalaman pribadi yang selalu berkomentar ke teman yang baru aja menggunduli kepalanya”, “Lagi putus cinta ya Bro?”.

Apapun persepsi orang terhadap kepala botak saya, yang jelas rambut ini tidak perlu shampoo yang banyak dan lebih praktis, karena tidak perlu bingung cari sisir setiap pagi…..He3x…What a life!